Jumat, 23 September 2011

Teori Atom Rutherford

Kata Kunci: ,

Atom yang bermuatan positif menjadi fokus Rutherford untuk dikaji. Eksperimen yang dilakukan Rutherford adalah menembakan partikel alpha pada sebuah lempeng tipis dari emas, dengan partikel alpha. Hasil pengamatan Rutherford adalah partikel alpha yang ditembakan ada yang diteruskan, dan ada yang dibelokkan. Dari eksperimen ini diketahui bahwa masih ada ruang kosong didalam atom, dan ada partikel yang bermuatan positif dan negatif.
Dari hasil ini, selanjutnya Rutherford mengajukan model atom dan dinyatakan bahwa; atom terdiri dari inti atom yang bermuatan positif dan dikelilingi oleh elektron-elektron yang bermuatan negatif. Elektron bergerak mengelilingi inti dengan lintasan yang berbentuk lingkaran atau elips, lihat Gambar 3.9.
Teori Rutherford banyak mendapat sanggahan, jika elektron bergerak mengelilingi inti, maka elektron akan melepaskan atau memancarkan energi sehingga energi yang dimiliki elektron lama-kelamaan akan berkurang dan menyebabkab lintasannya makin lama semakin kecil dan suatu saat elektron akan jatuh ke dalam inti. Teori Rutherford tidak dapat menjelaskan fenomena ini.
atom Rutherford
Gambar. 3.9 Model atom Rutherford, Muatan positif sebagai inti atom dan elektron bergerak mengengelilingi inti.


ARGENTOMETRI


Agentomentri atau Titrasi pengendapan adalah penetapan kadar zat yang didasarkan atas reaksi pembentukan endapan dari komponen zat uji dengan titran larutan titer perak nitrat. Pada argentometri, ion perak memegang peranan penting dalam pembentukan endapan cara ini dipakai untuk penetapan kadar ion haliuda, anion yang dapat membentuk endapan garam perak, atau untuk penetapan kadar perak tersebut.
Reaksi yang menghasilkan endapan dapat digunakan untuk analisis secara titrasi jika reaksinya berlangsung cepat, dan kuantitatif serta titik akhir dapat dideteksi. Beberapa reaksi pengendapan berlangsung lambat dan mengalami keadaan lewat jenuh. Tidak seperti gravimetri, titrasi pengendapan tidak dapat menunggu sampai pengendapan berlangsung sempurna . hal yang penting juga adalah hasil kali kelarutan harus cukup kecil sehingga pengendapan bersifat kuantitatif dalam batas kesalahan eksperimen. Reaksi samping tidak boleh terjadi demikian juga kopresipitasi. Keterbatasan pemakaian cara ini disebabkan sedikit sekali indikator yang sesuai. Semua jenis reaksi diklasifikasi berdasarkan tipe indikator yang digunakan untuk melihat titik akhir (Underwood, 1999)
Tergantung dari tujuan penetapan kadar, maka dikenal 3 macam metoda argentometri, yaitu : metode Mohr, metode Volhard, dan metode Fajans.
1. Metode Mohr
Titrasi Mohr terbatas untuk larutan dengan nilai pH antara 6 – 10. Dalam larutan yang lebih basa perak oksida akan mengendap. Dalam larutan asam konsentrasi ion kromat akan sangat dikurangi, karena HCrO4 hanya terionisasi sedikit sekali. Lagi pula hidrogen kromat berada dalam kesetimbangan dengan dikromat :
2H+ + 2CrO42- 2HCrO4 Cr2O72- + H2O
Mengecilnya konsentrasi ion kromat akan menyebabkan perlunya menambah ion perak dengan sangat berlebih untuk mengendapkan perak kromat, dan karenanya menimbulkan galat yang besar. Pada umumnya garam dikromat cukup dapat larut (Svehla, 1990).
Metode Mohr dapat juga diterapkan untuk titrasi ion bromida dengan perak, dan juga ion sianida dalam larutan yang sedikit agak basa. Efek adsorpsi menyebabkan titrasi ion iodida dan tiosianat tidak layak. Perak tak dapat dititrasi langsung dengan ion klorida, dengan menggunakan indikator kromat. Endapan perak kromat yang telah ada sejak awal, pada titik kesetaraan melarut kembali dengan lambat. Tetapi, orang dapat menambahkan larutan klorida standar secara berlebih, dan kemudian menitrasi balik, dengan menggunakan indikator kromat (Svehla, 1990).
2. Metode Volhard
Titrasi Ag dengan NH4CNS dengan garam Fe(III) sebagai indikator adalah contoh metode Volhard, yaitu pembentukan zat berwarna di dalam larutan. Selama titrasi, Ag(CNS) terbentuk sedangkan titik akhir tercapai bila NH4CNS yang berlebih bereaksi dengan Fe(III) membentuk warna merah gelap (FeCNS)++. Jumlah thiosianat yang menghasilkan warna harus sangat kecil. Jadi kesalahan pada titik akhir harus sangat kecil, dengan cara mengocok larutan dengan kuat pada titik akhir tercapai, agar Ag yang teradsorpsi pada endapan dapat didesorpsi. Pada metode Volhard untuk menentukan ion klorida, suasana haruslah asam karena pada suasana basa Fe3+ akan terhidrolisis. AgNO3 yang ditambahkan berlebih ke larutan klorida tentunya tidak bereaksi. Larutan Ag tersebut kemudian di titrasi balik dengan menggunakan Fe(III) sebagai indikator, tetapi cara ini menghasilkan suatu kesalahan karena AgCNS kurang larut dibandingkan AgCl. Sehingga :
AgCl + CNS- AgCNS + Cl-
Akibatnya lebih banyak NH4CNS diperlukan sehingga kandungan Cl- seakan-akan lebih rendah. Kesalahan ini dapat dikurangi dengan mengeluarkan endapan AgCl sebelum titrasi balik berlangsung atau menambahkan sedikit nitrobenzen, sehingga melindungi AgCl dari reaksi dengan thiosianat tetapi nitrobenzen akan memperlambat reaksi. Hal ini dapat dihindari jika Fe(NO3)3 dan sedikit NH4CNS yang diketahui ditambahkan dulu ke larutan bersama-sama HNO3, kemudian campuran tersebut dititrasi dengan AgNO3 sampai warna merah hilang (Khopkar, 1990)
3. Metode Fajans
Metode ini dipakai untuk penetapan kadar halida dengan menggunakan indikator adsobsi. Jika AgNO3 ditambahkan ke NaCl yang mengandung zat berpendar fluor, titik akhir ditentukan dengan berubahnya warna dari kuning menjadi merah jingga. Jika didiamkan, tampak endapan berwarna, sedangkan larutan tidak berwarna disebabkan adanya adsobsi indikator pada endapan AgCl. Warna zat yang terbentuk dapat berubah akibat adsorpsi pada permukaan (Harjadi, 1993)

Titrasi Pengendapan: Argentometri


argentometriTitrasi pengendapan merupakan titrasi yang melibatkan pembentukan endapan dari garam yang tidak mudah larut antara titrant dan analit. Hal dasar yang diperlukan dari titrasi jenis ini adalah pencapaian keseimbangan pembentukan yang cepat setiap kali titran ditambahkan pada analit, tidak adanya interferensi yang menggangu titrasi, dan titik akhir titrasi yang mudah diamati.
Salah satu jenis titrasi pengendapan yang sudah lama dikenal adalah melibatkan reaksi pengendapan antara ion halida (Cl-, I-, Br-) dengan ion perak Ag+. Titrasi ini biasanya disebut sebagai Argentometri yaitu titrasi penentuan analit yang berupa ion halida (pada umumnya) dengan menggunakan larutan standart perak nitrat AgNO3. Titrasi argentometri tidak hanya dapat digunakan untuk menentukan ion halide akan tetapi juga dapat dipakai untuk menentukan merkaptan (thioalkohol), asam lemak, dan beberapa anion divalent seperti ion fosfat PO43- dan ion arsenat AsO43-.
Dasar titrasi argentometri adalah pembentukan endapan yang tidak mudah larut antara titran dengan analit. Sebagai contoh yang banyak dipakai adalah titrasi penentuan NaCl dimana ion Ag+ dari titran akan bereaksi dengan ion Cl- dari analit membentuk garam yang tidak mudah larut AgCl.
Ag(NO3)(aq)  +  NaCl(aq) -> AgCl(s)  + NaNO3(aq)
Setelah semua ion klorida dalam analit habis maka kelebihan ion perak akan bereaksi dengan indicator. Indikator yang dipakai biasanya adalah ion kromat CrO42- dimana dengan indicator ini ion perak akan membentuk endapan berwarna coklat kemerahan sehingga titik akhir titrasi dapat diamati. Inikator lain yang bisa dipakai adalah tiosianida dan indicator adsorbsi. Berdasarkan jenis indicator dan teknik titrasi yang dipakai maka titrasi argentometri dapat dibedakan atas Argentometri dengan metode Mohr, Volhard, atau Fajans. Selain menggunakan jenis indicator diatas maka kita juga dapat menggunakan metode potensiometri untuk menentukan titik ekuivalen.
Ketajaman titik ekuivalen tergantung dari kelarutan endapan yang terbentuk dari reaksi antara analit dan titrant. Endapan dengan kelarutan yang kecil akan menghasilkan kurva titrasi argentometri yang memiliki kecuraman yang tinggi sehingga titik ekuivalen mudah ditentukan, akan tetapi endapan dengan kelarutan rendah akan menghasilkan kurva titrasi yang landai sehingga titik ekuivalen agak sulit ditentukan. Hal ini analog dengan kurva titrasi antara asam kuat dengan basa kuat dan anatara asam lemah dengan basa kuat.


Iodimetri


iodometriIodimetri merupakan titrasi redoks yang melibatkan titrasi langsung I2 dengan suatu agen pereduksi. I2 merupakan oksidator yang bersifat moderat, maka jumlah zat yang dapat ditentukan secara iodimetri sangat terbatas, beberapa contoh zat yang sering ditentukan secara iodimetri adalah H2S, ion sulfite, Sn2+, As3+ atau N2H4. Akan tetapi karena sifatnya yang moderat ini maka titrasi dengan I2 bersifat lebih selektif dibandingkan dengan titrasi yang menggunakan titrant oksidator kuat.
Pada umumnya larutan I2 distandarisasi dengan menggunakan standar primer As2O3, As2O3 dilarutkan dalam natrium hidroksida dan kemudian dinetralkan dengan penambahan asam. Disebabkan kelarutan iodine dalam air nilainya kecil maka larutan I2 dibuat dengan melarutkan I2 dalam larutan KI, dengan demikian dalam keadaan sebenarnya yang dipakai untuk titrasi adalah larutan I3-.
I2 + I-  -> I3-
Titrasi iodimetri dilakukan dalam keadaan netral atau dalam kisaran asam lemah sampai basa lemah. Pada pH tinggi (basa kuat) maka iodine dapat mengalami reaksi disproporsionasi menjadi hipoiodat.
I2 + 2OH-  <-> IO3-  +  I-  + H2O
Sedangkan pada keadaan asam kuat maka amilum yang dipakai sebagai indicator akan terhidrolisis, selain itu pada keadaan ini iodide (I-) yang dihasilkan dapat diubah menjadi I2 dengan adanya O2 dari udara bebas, reaksi ini melibatkan H+ dari asam.
4I- + O2 + 4H+  -> 2I2 + 2H2O
Titrasi dilakukan dengan menggunakan amilum sebagai indicator dimana titik akhir titrasi diketahui dengan terjadinya kompleks amilum-I2 yang berwarna biru tua. Beberapa reaksi penentuan denga iodimetri ditulis dalam reaksi berikut:
H2S + I2 -> S + 2I- + 2H+
SO32- + I2 + H2O -> SO42- + 2I- + 2H+
Sn2+  + I2  -> Sn4+ + 2I-
H2AsO3 + I2 + H2O -> HAsO42- + 2I- + 3H+

Sruktur Atom | Model Atom Dalton | Konfigurasi Elektron | Model Atom Thomson | Model Atom Rutherford

A. Struktur Atom
Perkembangan pemahaman struktur atom sejalan dengan awalperkembangan ilmu Kimia modern. Ilmuwan pertama yang membangunmodel (struktur) atom adalah John Dalton, kemudian disempurnakansecara bertahap oleh J.J. Thomson, Rutherford, dan Niels Bohr.
1. Model Atom Dalton
Teori atom Dalton didasarkan pada pengukuran kuantitatif reaksi-reaksi kimia. Dalton menghasilkan beberapa postulat sebagai berikut.
  1. Materi tersusun atas partikel-partikel sangat padat dan kecil yang tidak dapat dipecah-pecah lagi. Partikel itu dinamakan atom.
  2. Atom-atom suatu unsur identik dalam segala hal, tetapi berbeda dengan atom-atom unsur lain.
  3. Dalam reaksi kimia, terjadi penggabungan atau pemisahan dan penataan ulang atom-atom dari satu komposisi ke komposisi lain.
  4. Atom dapat bergabung dengan atom lain membentuk suatu molekul dengan perbandingan sederhana.
Kesimpulan dari model atom Dalton, yaitu unsur terdiri atas atom-atom yang sama dalam segala hal, baik bentuk, ukuran, dan massanya, tetapi berbeda dengan atom-atom unsur lain. Dengan kata lain, atom adalah partikel terkecil suatu unsur yang masih memiliki sifat unsur itu.
Teori Atom Dalton
2.   Model Atom Thomson
Berdasarkan fakta bahwa elektron merupakan partikel dasar penyusun materi, mendorong Thomson membangun suatu model atom
untuk menyempurnakan teori atom Dalton sebab model atom Dalton tidak menunjukkan adanya sifat-sifat listrik. Menurut Thomson, atom mengandung elektron yang bermuatan negatif dan elektron-elektron ini tersebar merata di dalam seluruh atom. Atomnya sendiri diasumsikan berupa bola pejal yang bermuatan positif. Jika model atom Thomson ini digambarkan dalam bentuk tiga dimensi
akan mirip kue onde, bijih wijen menyatakan elektron dan onde menyatakan bentuk atom. Gambar 1.11 menunjukkan model atom
Thomson. Jika model atom Thomson dibelah dua maka elektron-elektron di dalam atom akan tampak seperti bijih jambu batu yang tersebar merata di dalam jambu.
Model Atom Thomson
3.   Model Atom Rutherford
Rutherford melakukan percobaan penembakan lempeng emas yang sangat tipis dengan partikel alfa yang diemisikan oleh unsur radioaktif. Data hasil percobaan menunjukkan bahwa sebagian besar dari partikel alfa dapat melewati lempeng emas, tetapi hanya sebagian kecil partikel alfa yang dipantulkan kembali. Gambar 1.12 menunjukkan diagram hamburan partikel alfa.
Percobaan Rutherford
Berdasarkan data itu, Rutherford menyimpulkan bahwa volume atom sebagian besar berupa ruang kosong. Ini ditunjukkan oleh banyaknya partikel alfa yang dapat melewati lempeng emas. Adanya partikel alfa yang dipantulkan akibat bertumbukan dengan suatu partikel yang sangat keras dengan ukuran sangat kecil. Rutherford menamakan partikel itu sebagai inti atom. Oleh karena partikel alfa bermuatan positif maka inti atom harus bermuatan positif. Jika inti atom bermuatan negatif maka akan terjadi tarik menarik antara inti atom dan partikel alfa.
Berdasarkan percobaan tersebut, Rutherford menyusun suatu model atom (perhatikan Gambar 1.13) untuk menyempurnakan model atom Thomson. Model yang dikembangkan oleh Rutherford adalah sebagai berikut.
1. Atom tersusun atas inti atom yang bermuatan positif dan elektron-elektron yang bermuatan negatif.
2. Sebagian besar volume atom merupakan ruang kosong yang massanya terpusat pada inti atom.
3. Oleh karena atom bersifat netral maka jumlah muatan positif harus sama dengan jumlah muatan negatif.
4. Di dalam atom, elektron-elektron bermuatan negatif selalu bergerak mengelilingi inti atom.
Model Atom Rutherford
Kelemahan Model Atom Rutherford
Seperti halnya model atom pendahulunya, teori atom Rutherford memiliki kelemahan. Kelemahan utama terletak pada pergerakan elektron dalam mengelilingi inti atom.
Menurut Hukum Fisika Klasik dari Maxwell, jika suatu partikel yang bermuatan listrik bergerak melingkar akan mengemisikan energinya dalam bentuk cahaya yang mengakibatkan percepatan partikel semakin berkurang dan akhirnya diam. Dengan demikian, jika elektron yang bermuatan negatif bergerak melingkar (mengelilingi inti bermuatan positif) maka akan kehilangan energinya sehingga gerakan elektron akan berkurang, yang akhirnya akan jatuh ke inti. Gambar 1.14 menunjukkan model atom Rutherford menurut teori Maxwell.
Jadi, menurut Hukum Fisika Klasik, model atom Rutherford tidak stabil sebab elektron akan kehilangan energinya dan akan jatuh ke inti, pada akhirnya atom akan musnah. Akan tetapi, faktanya atom stabil.
4. Model Atom Bohr
Pada 1913, pakar fisika Denmark, Niels Bohr menyatakan bahwa kegagalan model atom Rutherford dapat disempurnakan dengan
menerapkan Teori Kuantum dari Planck. Model atom Bohr dinyatakan dalam bentuk empat postulat berkaitan dengan pergerakan elektron, yaitu sebagai berikut.
  1. Dalam mengelilingi inti atom, elektron berada pada kulit (lintasan) tertentu. Kulit ini merupakan gerakan stasioner (menetap) dari elektron dalam mengelilingi inti atom dengan jarak tertentu.
  2. Selama elektron berada pada lintasan stasioner tertentu, energi elektron tetap sehingga tidak ada energi yang diemisikan atau diserap.
  3. Elektron dapat beralih dari satu kulit ke kulit lain. Pada peralihan ini, besarnya energi yang terlibat sama dengan  persamaan Planck, ΔE = h.
  4. Lintasan stasioner elektron memiliki momentum sudut. Besarnya momentum sudut adalah kelipatan dari  nh/2π , dengan  n adalah bilangan kuantum dan  h  adalah tetapan Planck.
Model Atom Bohr
Kulit atau lintasan elektron dalam mengelilingi inti atom dilambangkan dengan n = 1, n = 2, n = 3, dan seterusnya. Lambang ini dinamakan bilangan kuantum. Model atom Bohr ditunjukkan pada Gambar 1.15. Huruf K, L, M, dan seterusnya digunakan untuk menyatakan lintasan elektron dalam mengelilingi inti atom. Lintasan dengan n = 1 disebut kulit K, lintasan dengan n = 2 disebut kulit L, dan seterusnya.
Energi Keadaan Dasar dan Tereksitasi
Suatu atom dikatakan memiliki energi terendah atau stabil jika elektronnya berada pada keadaan dasar.  Keadaan dasar untuk atom hidrogen adalah jika elektronnya berada pada kulit,  n = 1. Keadaan dimana  n > 1 bagi atom hidrogen dinyatakan tidak stabil, keadaan ini disebut  keadaan tereksitasi. Keadaan ini terjadi apabila atom hidrogen menyerap energi sebesar ( Δn)hv. Pada keadaan tereksitasi, elektron yang kembali ke kulit semula disertai emisi energi sebesar ( Δn)hv. Ketika elektron kembali ke kulit yang lebih rendah akan terbentuk suatu spektrum. Perhatikan Gambar 1.16.
Gagasan Bohr tentang elektron mengelilingi inti atom dalam kulit-kulit tertentu serupa dengan sistem tata surya kita, mudah dipahami. Oleh karena itu, model atom Bohr dapat diterima pada waktu itu.
B. Konfigurasi Elektron
Atom tersusun atas proton, neutron, dan elektron. Proton dan neutron terdapat dalam inti atom, sedangkan elektron selalu bergerak mengelilingi inti atom. Menurut Bohr, dalam mengelilingi inti atom, elektron berada pada kulit-kulit(lintasan) tertentu. Pertanyaannya, bagaimanakah keberadaan elektron-elektron (banyak) di dalam atom? Apakah semua elektron pada atom berelektron banyak berada dalam satu kulit tertentu atau tersebar merata pada setiap kulit atau ada aturannya? Pertanyaan ini semua akan dijawab dalam konfigurasi elektron.
Nomor atom suatu unsur menyatakan jumlah proton dalam inti atom. Jika atom unsur itu bersifat netral secara listrik maka jumlah proton sama dengan jumlah elektron. Dengan demikian, nomor atom menyatakan jumlah elektron pada atom netral. Elektron-elektron dalam atom berelektron banyak akan menghuni kulit  menurut aturan tertentu. Aturan ini dikembangkan berdasarkan hasil perhitungan secara kuantum. Berdasarkan hasil perhitungan, keberadaan elektron-elektron dalam atom menghuni kulit-kulit dengan aturan berikut.
  1. Kulit pertama maksimum dihuni oleh 2 elektron.
  2. Kulit kedua maksimum dihuni oleh 8 elektron.
  3. Kulit ketiga maksimum dihuni oleh 18 elektron.
  4. Kulit keempat maksimum dihuni oleh 32 elektron.
Konfigurasi Elektron Beberapa Unsur
2. Elektron Valensi
Apakah yang dimaksud dengan elektron valensi? Elektron valensi adalah elektron-elektron yang menghuni kulit terluar dari suatu atom, yaitu kulit yang paling jauh dari inti atom. Gambar 1.17 menunjukkan elektron valensi suatu atom.
Contoh: Berapakah elektron valensi dari natrium? Konfigurasi elektron atom, 11Na= 2  8  1. Kulit terluar dihuni 1 elektron. Jadi, elektron valensi dari natrium = 1.

Rabu, 21 September 2011

Implementasi Pengembangan Kegiatan Pembelajaran

Sebagai tahapan strategis pencapaian kompetensi, kegiatan pembelajaran perlu didesain dan dilaksanakan secara efektif dan efisien sehingga memperoleh hasil maksimal. Berdasarkan panduan penyusunan KTSP (KTSP), kegiatan pembelajaran terdiri dari kegiatan tatap muka, kegiatan tugas terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur. Sekolah standar yang menerapkan sistem paket, beban belajarnya dinyatakan dalam jam pelajaran ditetapkan bahwa satu jam pelajaran tingkat SMA terdiri dari 45 menit tatap muka untuk Tugas Terstruktur dan Kegiatan Mandiri Tidak Terstruktur memanfaatkan 0% – 60% dari waktu kegiatan tatap muka.

Sementara itu bagi sekolah kategori mandiri yang menerapkan sistem kredit semester, beban belajarnya dinyatakan dalam satuan kredit semester (sks). 1 (satu) sks tingkat SMA terdiri dari 1 (satu) jam pelajaran (@45 menit) tatap muka dan 25 menit tugas terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur. Dengan demikian, pada sistem paket maupun SKS, guru perlu mendesain kegiatan pembelajaran tatap muka, tugas terstruktur dan kegiatan mandiri.

1. Kegiatan Tatap Muka

Untuk sekolah yang menerapkan sistem paket, kegiatan tatap muka dilakukan dengan strategi bervariasi baik ekspositori maupun diskoveri inkuiri. Metode yang digunakan seperti ceramah interaktif, presentasi, diskusi kelas, diskusi kelompok, pembelajaran kolaboratif dan kooperatif, demonstrasi, eksperimen, observasi di sekolah, ekplorasi dan kajian pustaka atau internet, tanya jawab, atau simulasi.

Untuk sekolah yang menerapkan sistem SKS, kegiatan tatap muka lebih disarankan dengan strategi ekspositori. Namun demikian tidak menutup kemungkinan menggunakan strategi dikoveri inkuiri. Metode yang digunakan seperti ceramah interaktif, presentasi, diskusi kelas, tanya jawab, atau demonstrasi.

2. Kegiatan Tugas terstruktur

Bagi sekolah yang menerapkan sistem paket, kegiatan tugas terstruktur tidak dicantumkan dalam jadwal pelajaran namun dirancang oleh guru dalam silabus maupun RPP (Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran). Oleh karena itu pembelajaran dilakukan dengan strategi diskoveri inkuiri. Metode yang digunakan seperti penugasan, observasi lingkungan, atau proyek.

Bagi sekolah yang menerapkan sistem SKS, kegiatan tugas terstruktur dirancang dan dicantumkan dalam jadwal pelajaran meskipun alokasi waktunya lebih sedikit dibandingkan dengan kegiatan tatap muka. Kegiatan tugas terstruktur merupakan kegiatan pembelajaran yang mengembangkan kemandirian belajar peserta didik, peran guru sebagai fasilitator, tutor, teman belajar. Strategi yang disarankan adalah diskoveri inkuiri dan tidak disarankan dengan strategi ekspositori. Metode yang digunakan seperti diskusi kelompok, pembelajaran kolaboratif dan kooperatif, demonstrasi, eksperimen, observasi di sekolah, ekplorasi dan kajian pustaka atau internet, atau simulasi.

3. Kegiatan Mandiri Tidak Terstruktur

Kegiatan mandiri tidak terstruktur adalah kegiatan pembelajaran yang dirancang oleh guru namun tidak dicantumkan dalam jadwal pelajaran baik untuk sistem paket maupun sistem SKS. Strategi pembelajaran yang digunakan adalah diskoveri inkuiri dengan metode seperti penugasan, observasi lingkungan, atau proyek.

Tokoh Pendidikan Indonesia; Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.
Selain itu ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:

“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.
Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun”.
Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.
Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte. Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.
Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.
Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.
Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.
Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).

Belajar dan Pembelajaran

Belajar dan pembelajaran merupakan konsep yang saling berkaitan. Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku akibat interaksi dengan lingkungan. Proses perubahan tingkah laku merupakan upaya yang dilakukan secara sadar berdasarkan pengalaman ketika berinteraksi dengan lingkungan. Pola tingkah laku yang terjadi dapat dilihat atau diamati dalam bentuk perbuatan reaksi dan sikap secara mental dan fisik.

Tingkah laku yang berubah sebagai hasil proses pembelajaran mengandung pengertian luas, mencakup pengetahuan, pemahaman, sikap, dan sebagainya. Perubahan yang terjadi memiliki karakteristik: (1) perubahan terjadi secara sadar, (2) perubahan dalam belajar bersifat sinambung dan fungsional, (3) tidak bersifat sementara, (4) bersifat positif dan aktif, (5) memiliki arah dan tujuan, dan (6) mencakup seluruh aspek perubahan tingkah laku, yaitu pengetahuan, sikap, dan perbuatan.

Keberhasilan belajar peserta didik dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal, yaitu kondisi dalam proses belajar yang berasal dari dalam diri sendiri, sehingga terjadi perubahan tingkah laku. Ada beberapa hal yang termasuk faktor internal, yaitu: kecerdasan, bakat (aptitude), keterampilan (kecakapan), minat, motivasi, kondisi fisik, dan mental.

Faktor eksternal, adalah kondisi di luar individu peserta didik  yang mempengaruhi belajarnya. Adapun yang termasuk faktor eksternal adalah:  lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat (keadaan sosio-ekonomis, sosio kultural, dan keadaan masyarakat).

Pada hakikatnya belajar dilakukan oleh siapa saja, baik anak-anak maupun manusia dewasa. Pada kenyataannya ada kewajiban bagi manusia dewasa atau orang-orang yang memiliki kompetensi lebih dahulu agar menyediakan ruang, waktu, dan kondisi agar terjadi proses belajar pada anak-anak. Dalam hal ini proses belajar diharapkan terjadi secara optimal pada peserta didik melalui cara-cara yang dirancang dan difasilitasi oleh guru di sekolah. Dengan demikian diperlukan kegiatan pembelajaran yang disiapkan oleh guru.

Pembelajaran merupakan seperangkat tindakan yang dirancang untuk mendukung proses belajar peserta didik, dengan memperhitungkan kejadian-kejadian eksternal yang berperanan terhadap rangkaian kejadian-kejadian internal yang berlangsung di dalam peserta didik (Winkel, 1991).
Pengaturan peristiwa pembelajaran dilakukan secara seksama dengan maksud agar terjadi belajar dan membuat berhasil guna (Gagne, 1985). Oleh karena itu pembelajaran perlu dirancang, ditetapkan tujuannya sebelum dilaksanakan, dan dikendalikan pelaksanaannya (Miarso, 1993)

Proses pembelajaran yang berhasil guna memerlukan teknik, metode, dan pendekatan tertentu sesuai dengan karakteristik tujuan, peserta didik, materi, dan sumber daya. Sehingga diperlukan strategi yang tepat dan efektif.

Strategi pembelajaran merupakan suatu seni dan ilmu untuk membawa pembelajaran sedemikian rupa sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara efesien dan efektif (T. Raka Joni, 1992). Cara-cara yang dipilih dalam menyusun strategi pembelajaran meliputi sifat, lingkup dan urutan kegiatan yang dapat memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik (Gerlach and Ely). Strategi belajar mengajar tidak hanya terbatas pada prosedur dan kegiatan, melainkan juga termasuk di dalamnya materi pengajaran atau paket pengajarannya (Dick and Carey).

Faktor yang memengaruhi proses pembelajaran terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan pribadi guru sebagai pengelola kelas. Guru harus dapat melaksanakan proses pembelajaran, oleh sebab itu guru harus memiliki persiapan mental, kesesuaian antara tugas dan tanggung jawab, penguasaan bahan, kondisi fisik, dan motivasi kerja.

Faktor eksternal adalah kondisi yang timbul atau datang dari luar pribadi guru, antara lain keluarga dan lingkungan pergaulan di masyarakat. Faktor lingkungan, yang dimaksud adalah faktor lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan sekolah.

Berdasarkan pendekatan yang digunakan, secara umum ada dua strategi pembelajaran yaitu strategi yang berpusat pada guru (teacher centre oriented) dan strategi yang berpusat pada peserta didik (student centre oriented). Pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru menggunakan strategi ekspositori, sedangkan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik menggunakan strategi diskoveri inkuiri (discovery inquiry).

Pemilihan strategi ekspositori atau diskoveri inkuiri dilakukan atas pertimbangan karakteristik kompetensi yang menjadi tujuan yang terdiri dari sikap, pengetahuan dan keterampilan, serta karakteristik peserta didik dan sumber daya yang dimiliki. Oleh karena itu tidak ada strategi yang tepat untuk semua kondisi dan karakteristik yang dihadapi. Guru diharapkan mampu memilah dan memilih dengan tepat strategi yang digunakan agar hasil pembelajaran efektif dan maksimal.


Pemilihan strategi ekspositori dilakukan atas pertimbangan:
a.   karakteristik peserta didik dengan kemandirian belum memadai;
b.   sumber referensi terbatas;
c.    jumlah pesera didik dalam kelas banyak;
d.   alokasi waktu terbatas; dan
e.   jumlah materi (tuntutan kompetensi dalam aspek pengetahuan) atau bahan banyak.

Langkah-langkah yang dilakukan pada strategi ekspositori adalah sebagai berikut.
a.   Preparasi, guru menyiapkan bahan/materi pembelajaran
b.   Apersepsi diperlukan untuk penyegaran
c.    Presentasi (penyajian) materi pembelajaran
d.   Resitasi, pengulangan pada bagian yang menjadi kata kunci kompetensi atau materi pembelajaran.

Pemilihan strategi diskoveri inkuiri dilakukan atas pertimbangan:
a.   karakteristik peserta didik dengan kemandirian cukup memadai;
b.   sumber referensi, alat, media, dan bahan cukup;
c.    jumlah peserta didik dalam kelas tidak terlalu banyak;
d.   materi pembelajaran tidak terlalu luas; dan
e.   alokasi waktu cukup tersedia.

Langkah-langkah yang dilakukan pada strategi diskoveri inkuiri adalah sebagai berikut.
a.   Guru atau peserta didik mengajukan dan merumuskan masalah
b.   Merumuskan logika berpikir untuk mengajukan hipotesis atau jawaban sementara
c.    Merumuskan langkah kerja untuk memperoleh data
d.   Menganalisis data dan melakukan verifikasi
e.   Melakukan generalisasi

Strategi ekspositori lebih mudah bagi guru namun kurang melibatkan aktivitas peserta didik. Kegiatan pembelajaran berupa instruksional langsung (direct instructional) yang dipimpin oleh guru. Metode yang digunakan adalah ceramah atau presentasi, diskusi kelas, dan tanya jawab. Namun demikian ceramah atau presentasi yang dilakukan secara interaktif dan menarik dapat meningkatkan keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran.

Strategi diskoveri inkuiri memerlukan persiapan yang sungguh-sungguh, oleh karena itu dibutuhkan kreatifitas dan inovasi guru agar pengaturan kelas maupun waktu lebih efektif. Kegiatan pembelajaran berbentuk Problem Based Learning yang difasilitasi oleh guru. Strategi ini melibatkan aktivitas peseserta didik yang tinggi. Metode yang digunakan adalah observasi, diskusi kelompok, eksperimen, ekplorasi, simulasi, dan sebagainya.

Aspek Kecerdasan Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik

1.  Kognitif
Aspek kognitif adalah kemampuan intelektual siswa dalam berpikir, menegtahui dan memecahkan masalah.
Menurut Bloom (1956) tujuan domain kognitif terdiri atas enam bagian :
a.   Pengetahuan (knowledge)
mengacu kepada kemampuan mengenal materi yang sudah dipelajari dari yang sederhana sampai pada teori-teori yang sukar. Yang penting adalah kemampuan mengingat keterangan dengan benar.
b.   Pemahaman (comprehension)
Mengacu kepada kemampuan memahami makna materi. Aspek ini satu tingkat di atas pengetahuan dan merupakan tingkat berfikir yang rendah.
c.   Penerapan (application)
Mengacu kepada kemampuan menggunakan atau menerapkan materi yang sudah dipelajari pada situasi yang baru dan menyangkut penggunaan aturan dan prinsip. Penerapan merupakan tingkat kemampuan berfikir yang lebih tinggi daripada pemahaman.
d.   Analisis (analysis)
Mengacu kepada kemampun menguraikan materi ke dalam komponen-komponen atau faktor-faktor penyebabnya dan mampu memahami hubungan di antara bagian yang satu dengan yang lainnya sehingga  struktur dan aturannya dapat lebih dimengerti. Analisis merupakan tingkat kemampuan berfikir yang lebih tinggi daripada aspek pemahaman maupun penerapan.
e.   Sintesa (evaluation)
Mengacu kepada kemampuan memadukan konsep atau komponen-komponen sehingga membentuk suatu pola struktur atau bentuk baru. Aspek ini memerluakn tingkah laku yang kreatif. Sintesis merupakan kemampuan tingkat berfikir yang lebih tinggi daripada kemampuan sebelumnya.
f.    Evaluasi (evaluation)
Mengacu kemampuan memberikan pertimbangan terhadap nilai-nilai materi untuk tujuan tertentu. Evaluasi merupakan tingkat kemampuan berfikir yang tinggi.
Urutan-urutan seperti yang dikemukakan di atas, seperti ini sebenarnya masih mempunyai bagian-bagian lebih spesifik lagi. Di mana di antara bagian tersebut akan lebih memahami akan ranah-ranah psikologi sampai di mana kemampuan pengajaran mencapai Introduktion Instruksional. Seperti evaluasi terdiri dari dua kategori yaitu “Penilaian dengan menggunakan kriteria internal” dan “Penilaian dengan menggunakan kriteria eksternal”. Keterangan yang sederhana dari aspek kognitif seperti dari urutan-urutan di atas, bahwa sistematika tersebut adalah berurutan yakni satu bagian  harus lebih dikuasai baru melangkah pada bagian lain.
Aspek kognitif lebih didominasi oleh alur-alur teoritis dan abstrak. Pengetahuan akan menjadi standar umum untuk melihat kemampuan kognitif seseorang dalam proses pengajaran.
2. Afektif
Domain afektif atau intelektual adalah mengenai sikap, minat, emosi, nilai hidup dan operasiasi siswa.
Menurut Krathwol (1964) klasifikasi tujuan domain afektif terbagi lima kategori :
a.   Penerimaan (recerving)
Mengacu kepada kemampuan memperhatikan dan memberikan respon terhadap sitimulasi yang tepat. Penerimaan merupakan tingkat hasil belajar terendah dalam domain afektif.
b.   Pemberian respon atau partisipasi (responding)
Satu tingkat di atas penerimaan. Dalam hal ini siswa menjadi terlibat secara afektif, menjadi peserta dan tertarik.
c.   Penilaian atau penentuan sikap (valung)
Mengacu kepada nilai atau pentingnya kita menterikatkan diri pada objek atau kejadian tertentu dengan reaksi-reaksi seperti menerima, menolak atau tidak menghiraukan. Tujuan-tujuan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi “sikap dan opresiasi”.
d.   Organisasi (organization)
Mengacu kepada penyatuan nilai, sikap-sikap yang berbeda yang membuat lebih konsisten dapat menimbulkan konflik-konflik internal dan membentuk suatu sistem nilai internal, mencakup tingkah laku yang tercermin dalam suatu filsafat hidup.
e.  Karakterisasi /  pembentukan pola hidup (characterization by a value or value                complex)
Mengacu kepada karakter dan daya hidup sesorang. Nilai-nilai sangat berkembang nilai teratur sehingga tingkah laku menjadi lebih konsisten dan lebih mudah diperkirakan. Tujuan dalam kategori ini ada hubungannya dengan keteraturan pribadi, sosial dan emosi jiwa.
Variable-variabel di atas juga  telah memberikan kejelasan bagi proses pemahaman taksonomi afektif ini, berlangsungnya proses afektif adalah akibat perjalanan kognitif terlebih dahulu seperti pernah diungkapkan bahwa:
“Semua sikap bersumber pada organisasi kognitif pada informasi dan pengatahuan yang kita miliki. Sikap selalu diarahkan pada objek, kelompok atau orang hubungan kita dengan mereka pasti di dasarkan pada informasi yanag kita peroleh tentang sifat-sifat mereka.”
Bidang afektif dalam psikologi akan memberi peran tersendiri untuk dapat menyimpan menginternalisasikan sebuah nilai yang diperoleh lewat kognitif dan kemampuan organisasi afektif itu sendiri. Jadi eksistensi afektif dalam dunia psikologi pengajaran adalah sangat urgen untuk dijadikan pola pengajaran yang lebih baik tentunya.
3. Psikomotorik
Domain psikomotorik adalah kemampuan yang menyangkut kegiatan otot dan fisik.
Menurut Davc (1970) klasifikasi tujuan domain psikomotor terbagi lima kategori yaitu :
a.   Peniruan
terjadi ketika siswa mengamati suatu gerakan. Mulai memberi respons serupa dengan yang diamati. Mengurangi koordinasi dan kontrol otot-otot saraf. Peniruan ini pada umumnya dalam bentuk global dan tidak sempurna.
b.   Manipulasi
Menekankan perkembangan kemampuan mengikuti pengarahan, penampilan, gerakan-gerakan pilihan yang menetapkan suatu penampilan melalui latihan. Pada tingkat ini siswa menampilkan sesuatu menurut petunjuk-petunjuk tidak hanya meniru tingkah laku saja.
c.   Ketetapan
memerlukan kecermatan, proporsi dan kepastian yang lebih tinggi dalam penampilan. Respon-respon lebih terkoreksi dan kesalahan-kesalahan dibatasi sampai pada tingkat minimum.
d.   Artikulasi
Menekankan koordinasi suatu rangkaian gerakan dengan membuat urutan yang tepat dan mencapai yang diharapkan atau konsistensi internal di natara gerakan-gerakan yang berbeda.
e.   Pengalamiahan
Menurut tingkah laku yang ditampilkan dengan paling sedikit mengeluarkan energi fisik maupun psikis. Gerakannya dilakukan secara rutin. Pengalamiahan merupakan tingkat kemampuan tertinggi dalam domain psikomotorik.
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa domain psikomotorik dalam taksonomi instruksional pengajaran adalah lebih mengorientasikan pada proses tingkah laku atau pelaksanaan, di mana sebagai fungsinya adalah untuk meneruskan nilai yang terdapat lewat kognitif dan diinternalisasikan lewat afektif sehingga mengorganisasi dan diaplikasikan dalam bentuk nyata oleh domain psikomotorik ini.

Hakikat Disiplin dalam Pendidikan

Christopher Bjork, orang Amerika yang meneliti pendidikan di Indonesia, begitu tercengang menyaksikan upacara pelantikan pengurus Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) di sebuah SMP. Dengan langkah berbaris rapi dan membentuk huruf U, pengurus OSIS yang baru menghadap Kepala Sekolah yang tengah berdiri di atas podium upacara, disaksikan oleh dewan guru dan siswa-siswi. Pengurus OSIS lama kemudian menyusul, membentuk hurup U juga, persis di belakang yang pertama. Pengambilan sumpah, dan penandatanganan dokumen kepengurusan, dilakukan dengan penuh hati-hati dan teratur. Semua berdiri tegak, diam dan khidmat mengikuti upacara tersebut.
Selain upacara pelantikan OSIS, Bjork juga mengamati upacara bendera tiap Senin. Menurut pengamatannya, hampir semua guru hadir pada upacara Senin itu, termasuk mereka yang sering absen mengajar. Di luar upacara resmi yang khidmat itu, Bjork juga mengamati bagaimana guru-guru mengajar di kelas. Di sini, Bjork menemukan fakta yang merisaukan hatinya. Ternyata guru-guru itu umumnya tidak menyiapkan bahan pelajaran dengan baik, datang terlambat dan tidak menggunakan media pembelajaran yang memadai. “Yang lebih mengejutkan lagi bagi saya adalah penerimaan yang luas terhadap perilaku semacam ini. Para siswa, orangtua, guru dan tata usaha, semua tetap tak terganggu dengan apa yang menurut saya adalah kurangnya perhatian pada proses belajar-mengajar di sekolah-sekolah itu,” kata Bjork (2005: xiv).
Apa yang dicatat oleh Bjork, saya kira, cukup akrab dengan kita, meskipun mungkin kita tak mau peduli atau malah menerimanya dengan senang hati. Hal serupa sebenarnya juga terjadi di tempat-tempat kerja. Ketika saya mengikuti Prajabatan di Rindam IV Tanjung Pura, seorang komandan berpidato bahwa ia sangat tidak suka dengan Batalion 705. Ternyata yang dia maksud adalah, tentara biasanya apel jam 7 pagi, kemudian masuk kantor. Nanti sore mau pulang, apel lagi jam 5. Dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore, boleh dikata tak ada yang dikerjakan. Maka jadilah Batalion 705! Coba Anda perhatikan perilaku serupa di kantor-kantor pemerintah. Waktu apel pagi, mereka berduyun-duyun datang. Tapi setelah masuk, tidak sedikit orang yang kerjanya hanya membaca koran, menggosip atau nonton TV. Kalau di kantor itu ada tenaga honorer, maka dialah yang sering jadi korban. Semua pekerjaan, kalau bisa, diserahkan kepada si honorer. Sementara mereka yang sudah PNS, yang gajinya jauh lebih besar, justru ongkang-ongkang kaki saja.
Rupanya, apa yang dilakukan oleh bapak-bapak dan ibu-ibu yang sudah dewasa itu, dilakukan pula oleh anak-anak siswa dan mahasiswa, tetapi dalam bentuk lain. Siswa atau mahasiswa senior dengan bersemangat melaksanakan kegiatan ‘Orientasi’ untuk siswa-siswi atau mahasiswa-mahasiswi baru. Orang-orang baru ini mereka perintahkan supaya datang tepat waktu, harus membawa barang-barang yang sulit dicari, dan berpakaian aneh-aneh. Jika semua perintah ini tidak ditaati, mereka akan dihukum. Ada yang dibentak-bentak dan dihina. Bahkan ada yang dipukul dan ditendang. Hampir tiap tahun media memberitakan adanya korban jiwa dalam kegiatan orientasi itu, baik di tingkat sekolah ataupun perguruan tinggi. Anehnya, praktik semacam ini masih saja dibiarkan.
Beberapa contoh yang saya kemukakan di atas hanyalah sebagian kecil dari kenyataan di masyarakat kita. Boleh dikata, semua contoh itu, disadari atau tidak, berhubungan dengan apa yang disebut dengan ‘disiplin’. Mari kita bertanya: Apakah disiplin berarti berbaris rapi dalam setiap upacara bendera? Mengapa kedisiplinan dalam upacara bendera lebih utama daripada mengajar dengan sungguh-sungguh? Mengapa ikut apel pagi dan sore lebih penting daripada mengerjakan tugas-tugas kantor? Mengapa dalam masa Orientasi anak-anak baru itu diperintahkan berpakaian aneh-aneh dan membawa barang-barang yang sulit dicari? Apakah itu akan menumbuhkan disiplin? Apakah dengan hukuman pukul dan tendang, disiplin akan tertanam pada diri seseorang? Apa sebenarnya arti disiplin? Mengapa disiplin itu perlu? Bagaimana menegakkan disiplin?
Makna Disiplin
Kata disiplin diambil dari bahasa Inggris, discipline. Menurut Longman Dictionary of English Languange and Culture (1992: 362) kata discipline memiliki empat makna, yaitu: 1. a method of training to produce obidience and self-control (satu metode pelatihan untuk menghasilkan ketaatan dan pengendalian diri); 2. a state of order and control gained as a result of this training (suatu keadaan teratur dan terkendali yang diperoleh sebagai hasil dari pelatihan ini); 3. punishment that is intended to produce obidience (hukuman yang bertujuan untuk menghasilkan ketaatan); 4. a branch of learning studied at a university (satu cabang ilmu yang dipelajari di universitas).
Dari berbagai pengertian di atas, dapatlah kiranya kita simpulkan bahwa dalam Bahasa Inggris, kata disiplin berarti metode atau cara pelatihan untuk melahirkan ketaatan dan pengendalian diri. Cara itu kadangkala berbentuk hukuman. Tetapi hasil dari penerapan metode pelatihan tersebut juga disebut disiplin. Dengan demikian, makna kata discipline adalah cara sekaligus hasil. Lalu mengapa satu cabang ilmu juga disebut ‘disiplin’? Karena ilmu (science) dikembangkan berdasarkan tata aturan tertentu yang secara sederhana disebut ‘metode ilmiah’. Setiap ilmuwan harus mengikuti metode ini dengan cermat dan konsisten, atau dengan kata lain, dengan penuh disiplin. Hasil dari kerja yang cermat dan konsisten dalam menjalankan metode ilmiah itu kemudian melahirkan temuan di bidang satu disiplin ilmu. Maka dalam hal ini, disiplin adalah metode sekaligus hasil.
Dalam Bahasa Arab modern (Wehr 1974: 10), kita menemukan kata ta’dîb yang berari pendisiplinan; qadhiyyah ta’dîbiyyah berarti tindakan pendisiplinan. Kamus Bahasa Arab al-Mu’jam al-Wasîth (1972: 10) menyebutkan, kata ta’dîb berarti al-tahdzîb atau al-mujâzât (penghalusan sesuatu atau pemberian hukuman). Disebutkan pula bahwa dalam tradisi orang Arab, ada yang disebut majlis al-ta’dîb yang berarti ‘Majelis Pendisiplinan’, mungkin mirip dengan ‘Majelis Kehormatan’ di DPR kita. Tujuan dari adanya majelis ini adalah menegakkan kemaslahan umum (mashlahah ‘âmmah).
Tetapi yang terpenting dari istilah ta’dîb sebenarnya adalah akar katanya, yaitu adab. Menurut  al-Mu’jam al-Wasîth (1972: 9), kata adab berarti (1) riyâdhat al-nafs bi al-ta’lîm wa al-tahdzîb ‘alâ mâ yanbaghi (Pelatihan diri melalui pengajaran dan penghalusan berkenaan dengan apa yang seharusnya dilakukan seseorang; (2) wa jumlatu mâ yanbaghî lidzî al-shinâ’ah aw al-fann, an yatamassaka bih, ka adab al-Qâdhî (segala hal yang seharusnya diikuti oleh seorang profesional di bidang pekerjaan atau keilmuwan seperti adab hakim). Dalam istilah kita, ‘adab’ di sini sama dengan ‘kode etik’. Al-Jurjâni dalam bukunya al-Ta’rîfat (1988: 15) mendefinisikan kata adab dengan ‘ibâratun ‘an ma’rifati mâ yahtarizu bih ‘an jamî’i anwâ’i al-khatha’ (suatu istilah yang menunjukkan suatu pengenalan terhadap hal-hal yang dapat memelihara seseorang dari aneka kesalahan).
Dengan demikian, kata adab dan ta’dîb dalam Bahasa Arab memiliki makna yang luas. Ia bisa berarti suatu pelatihan dalam rangka menghaluskan perilaku seseorang. Ia bisa pula berarti pemberian hukuman. Tetapi ta’dîb tidak selalu berarti ketundukan dan ketaatan karena tujuannya adalah menanamkan adab, yaitu hal-hal yang seharusnya diikuti, atau secara negatif, agar seseorang terpelihara dari berbagai kesalahan. Karena itulah, seorang pakar pendidikan Islam, Muhammad Naquib al-Attas (1984) berpendapat, istilah yang tepat untuk ‘pendidikan Islam’ bukanlah tarbiyyah, melainkan ta’dîb karena yang pertama bermakna memelihara dan menumbuhkembangkan, sedangkan yang kedua berarti menanamkan adab pada seseorang.
Dalam tradisi Islam klasik, istilah adab memang sangat banyak dikemukakan oleh para pemikir, terutama ketika membicarakan masalah-masalah etika. Hal ini antara lain karena adanya hadis Nabi saw yang terkenal: addabanî rabbî fa ahsana ta’dîbî (Aku dididik oleh Tuhanku sehingga Dia membuat pendidikanku itu amat baik). Saya menerjemah kata ta’dîb di hadis ini dengan ‘mendidik’, mengikuti pendapat al-Attas di atas. Maksud dari hadis ini adalah bahwa hidup Nabi Muhammad yang penuh lika-liku dan perjuangan—ia lahir sebagai yatim, kemudian piatu, hidup bersama kakek, kemudian bersama paman, lalu kawin dengan Khadijah, tetapi kemudian isteri tersayang ini meninggal, dan akhirnya ia terpaksa hijrah ke Madinah karena mau dibunuh oleh kaumnya—semua peristiwa ini adalah ta’dîb, pendidikan atau pendisiplinan dari Tuhan.
Demikianlah, para ulama klasik akhirnya lebih suka menggunakan istilah adab dalam menggambarkan pendidikan dalam Islam. Seorang pemikir Islam al-Mâwardi (w.450 H.) misalnya, menulis buku berjudul Adab al-Dunyâ wa al-Dîn (adab dunia dan agama). Dalam mukaddimah buku ini (al-Mâwardi 1992: 7), ia antara lain mengatakan: “Masalah yang paling penting dan besar, dan yang paling banyak manfaatnya adalah apa yang membuat agama dan dunia tegak, dan dengannya kebaikan dunia dan akhirat terjalin. Sebab dengan tegaknya agama, ibadah akan absah, dan dengan kesejahteraan dunia, kebahagian akan tercapai.” Untuk mencapai tegaknya agama dan urusan dunia sekaligus sehingga tercapai kebahagiaan hidup, al-Mâwardi kemudian memaparkan perlunya mengikuti berbagai norma yang disebutnya adab-adab (âdâb).
Tujuan dan Metode Disiplin
Sekilas dalam membahas makna disiplin di atas, kita sudah menyentuh mengapa disiplin itu perlu. Misalnya, makna disiplin dalam Bahasa Inggris menunjukkan bahwa tujuan dari disiplin adalah melahirkan ketaatan pada aturan dan pengendalian diri. Dalam pengertian Bahasa Arab, disiplin juga diperlukan untuk menegakkan kemaslahatan umum. Selain itu, tujuan disiplin juga adalah menjaga diri seseorang agar tidak jatun berbagai kesalahan, atau lebih luas lagi, agar seseorang bisa mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dalam pengertian terakhir ini, kata ta’dîb identik dengan pendidikan.
Dengan demikian, tujuan dari disiplin, jika kita melihatnya dalam pengertian yang luas, adalah tercapainya tujuan pendidikan itu sendiri. Untuk mencapai tujuan tersebut, tentu diperlukan metode-mdetode tertentu. Tidak ada ketentuan yang baku dalam hal metode ini kecuali dua hal: (1) metode tidak boleh bertentangan dengan tujuan; (2) metode yang baik adalah metode yang paling efektif dan efisien dalam mencapai tujuan.
Metode tidak boleh bertentangan dengan tujuan. Ini prinsip yang amat penting. Tujuan yang baik, yang dicapai melalui cara-cara yang salah, akan merusak tercapainya tujuan tersebut. Kalau saya mencuri dengan tujuan bersedekah kepada fakir miskin, tindakan saya itu tetap haram, dan sedekah saya tidak berpahala. Kalau saya ingin agar anak saya menjadi seorang yang baik, tetapi saya membiarkan dia bergaul dengan orang-orang yang nakal dan jahat, maka saya sudah melakukan cara yang bertentangan dengan tujuan.
Tetapi Anda mungkin akan berkata, kalau persoalan jelas hitam-putih seperti contoh-contoh di atas, maka takkan ada masalah. Yang jadi masalah adalah ketika cara-cara tertentu oleh sebagian orang dianggap wajar, sebagian lagi menganggapnya tidak wajar bahkan melanggar hukum. Misalnya, bisakah orangtua atau guru menempeleng anak didiknya yang melakukan kesalahan besar dengan tujuan agar anak itu jera? Di zaman sekarang, pemukulan pada anak bisa dijerat hukum karena dianggap melakukan tindak kekerasan pada anak.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya berpendapat bahwa perubahan sosial budaya masyarakat akan menentukan cara-cara apa saja yang dapat diterima dalam mendidik anak. Barangkali, di zaman dulu pukul dan tempeleng itu dianggap wajar dan biasa. Budaya masyakarat kita pada saat itu lebih bersifat paternalistik (tunduk pada figur ayah atau guru) dan komunal (kepentingan kelompok lebih diutamakan daripada kepentingan indvidu). Sekarang zaman berubah. Anak-anak kita semakin berpendidikan, dan budaya kita semakin individualis dalam arti orang dihargai lebih sebagai diri pribadi ketimbang sebagai anggota dari satu kelompok. Perubahan sosial ini membuat apa yang dulu wajar, sekarang malah dianggap melanggar hukum.
Apakah perubahan ini patut disyukuri atau disesali? Saya kira kita tak perlu bersyukur atau menyesal karena yang penting adalah prinsip kedua dalam menerapkan metode, yaitu sejauhmana sebuah metode efektif mencapai tujuan yang diinginkan. Kalau di zaman dulu anak-anak menjadi disiplin karena takut pada guru atau orangtua yang kalau marah bisa saja memukulnya, sekarang kalau dipukul barangkali mereka tidak akan bertambah disiplin, melainkan bertambah nakal. Jika demikian halnya, maka cara yang diterapkan harus diubah, yakni dengan cara-cara persuasif dan kasih sayang. Selain itu, karakter masing-masing anak dan latar belakang sosial keluarganya, seringkali berpengaruh pula terhadap metode apa yang efektif untuk anak tersebut. Maka dalam hal ini, seorang pendidik harus jeli dan bisa memahami karakter masing-masing anak didiknya. Anak miskin dari keluarga tidak terpelajar, yang tiap hari diomelin di rumah, mungkin akan berbeda cara penanganannya dengan anak orang berduit dari keluarga terpelajar. Singkat kata, tidak ada metode yang benar-benar universal.
Selain itu, yang tak kalah pentingnya adalah metode tanpa suara, tetapi amat berpengaruh, yaitu contoh teladan. Semua kita tahu akan hal ini, yakni bahwa contoh lebih fasih daripada kata-kata indah. Tetapi dalam praktik, hal ini tidaklah mudah. Bagaimana guru dapat menanamkan disiplin kalau dia sendiri sering terlambat dan sering tidak masuk? Bagaimana orangtua dapat menyuruh anaknya rajin shalat kalau dia sendiri seringkali meningalkan shalat?
Mengapa Manusia Perlu Disiplin?
Tetapi mengapa manusia perlu dilatih dan dididik dengan disiplin? Karena manusia adalah makhluk yang belum selesai. Sejak lahir, dia harus diasuh dan ditumbuhkembangkan, baik kehidupan fisik, psikis ataupun sosialnya. Manusia tidak seperti binatang yang tidak lama setelah lahir sudah bisa mengikuti pola hidup orangtuanya. Tetapi berbeda dengan binatang, manusia dapat terus maju dan berkembang. Ia dapat mewariskan kepandaiannya kepada generasi muda, yang akan mengembangkannya lagi sampai batas yang tak pernah diketahui. Manusia adalah makhluk yang terus-menerus menjadi.
Dalam proses menjadi itu, manusia harus menjalaninya melalui berbagai latihan dan pengajaran. Disiplin merupakan bagian dari latihan itu. Dalam Bahasa Arab disebut riyâdhah. Dengan latihan dan pembiasaan, manusia diharapkan akan terbiasa pada perbuatan baik, dan meninggalkan perbuatan jahat. Proses pembiasaan inilah yang sebenarnya dilakukan dalam menerapkan beragam metode di atas. Ini sebabnya, al-Ghazali (1995:57) mengatakan, al-khuluq adalah sisi batin dari perilaku, sedangkan al-khalq adalah sisi lahirnya. Pelatihan diperlukan untuk menanamkan pada batin seseorang kebiasaan akan suatu perbuatan. Jika suatu perbuatan itu sudah terbiasa sehingga ia mudah mengerjakannya tanpa hambatan batin lagi, maka perbuatan itu bisa disebut al-khuluq dan jamaknya al-akhlâq. Jika perbuatan itu baik, maka disebuat al-akhlâq al-karîmah, dan jika buruk disebut al-akhlâd al-sayyiah.
Akhirnya, perlu kiranya juga disinggung di sini bahwa dalam tradisi Islam, pendidikan itu bertujuan melahirkan keseimbangan. Karena itu dalam agama ada perintah untuk berbuat baik, ada larangan berbuat jahat. Ada ajaran tentang cinta kasih, adapula ajaran tentang keadilan. Menurut Cak Nur, kalau agama Yahudi menekankan keketatan hukum dan Kristen menekankan cinta kasih, maka Islam berada di tengah-tengah. Yahudi itu sangat ketat hukumnya karena ia adalah agama untuk orang-orang yang pernah diperbudak. Budak biasanya tidak taat kecuali diancam dengan hukum. Selanjutnya datang Nabi Isa untuk melonggarkan keketatan itu dengan ajaran cinta kasih. Akhirnya Muhammad menyempurnakannya dengan menggabungkan keadilan hukum dan cinta atau rahmat.
Dalam tradisi tasawuf, Tuhan itu juga memiliki dua jenis sifat yaitu sifat-sifat jamâl yang indah seperti penyayang, pengampun dan penerima taubat, dan sifat-sifat jalâl yang menakutkan seperti memaksa dan menyiksa. Gabungan antara kedua jenis sifat ini kemudian melahirkan kamâl atau kesempurnaan. Seorang Muslim diharapkan bersikap seimbang pula dalam hidupnya. Ia tak boleh begitu takut pada Tuhan sehingga putus asa, atau begitu berharap akan rahmat Tuhan sehingga berbuat dosa seenaknya. Manusia harus berada di tengah-tengah antara takut dan harap. Begitu pula dalam hal pendidikan. Anak yang hanya diberi kasih sayang tetapi tak pernah ditegur, mungkin akan menjadi anak yang manja. Sebaliknya, anak yang terus-menerus dimarahi mungkin akan menjadi tidak percaya diri. Disiplin adalah upaya menciptakan keseimbangan, dan keseimbangan itu memang tidak mudah.
Penutup
Kita sudah membahas makna disiplin, metode-metode penanaman disiplin dan tujuan disiplin itu sendiri. Tetapi ada satu hal penting yang belum kita analisis, yaitu kasus-kasus yang dipaparkan pada bagian awal tulisan ini. Mengapa semua itu dapat terjadi? Saya kira sebab utamanya adalah karena kita cenderung melihat disiplin secara formal tanpa memperdulikan substansinya. Kita memahami disiplin hanya pada kulitnya, bukan pada isinya. Kita ribut kalau murid lupa memakai kaos kaki seragam, dan lalu menghukunya, tetapi kita tak peduli kalau guru seringkali bolos atau mengajar asal-asalan. Kita juga melihat disiplin hanya sebagai kepatuhan mutlak tanpa melihat tujuan sesungguhnya dari penehakan disiplin itu sendiri. Apa yang dilakukan siswa dan mahasiswa pada program Orientasi adalah cermin dari kesalahan ini. Mari kita tinggalkan semua bentuk formalitas dan pemahaman yang dangkal terhadap disiplin itu.

Model Pembelajaran Kooperatif Learning

a.       Pengertian
pembelajaran1 300x225 Model Pembelajaran Kooperatif LearningModel pembelajaran kooperatif learning merupakan suatu model pengajaran dimana siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan yang berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompok setiap anggota saling kerjasama dan membantu untuk memahami suatu bahan pembelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif learning, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran. Setiap siswa yang ada dalam kelompok mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda (tinggi, sedang dan rendah) dan anggota kelompok memiliki latar belakang yang berbeda juga seperti: suku, ras, budaya, jenis kelamin, kemampuan maupun kesetaraan gender. Model pembelajaran kooperatif learning menekankan pada kerjasama antar siswa dalam kelompok untuk memecahkan suatu permasalahan atau suatu tugas dalam pelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran secara bersama.
Davidson dan Kroll (dalam Nur Asma,2008:2), mendefinisikan bahwa pembelajaran kooperatif learning adalah kegiatan yang berlangsung dilingkungan belajar siswa dalam kelompok kecil yang saling berbagi ide- ide dan bekerja secara kolaboratif untuk memecahkan masalah- masalah yang ada dalam tugas mereka.
Pembelajaran kooperatif learning merupakan salah satu model pembelajaran yang terstruktur dan sistematis, dimana kelompok- kelompok kecil bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama.
Cooper dan Heinich (dalam Nur asma 2008:2) menjelaskan bahwa“pembelajaran kooperatif learning sebagai metode pembelajaran yang melibatkan kelompok- kelompok kecil yang heterogen dan siswa berkerjasama untuk mencapai tujuan-tujuan dan tugas-tugas akademik bersama, sambil bekerjasama belajar keterampilan-keterampilan kolaboratif dan social”. Anggota-anggota kelompok memiliki tanggung jawab dan saling bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama.
Menurut Nur Asma (2008:2), kooperatif learning adalah “suatu pendekatan yang mencakup kelompok kecil dari siswa yang bekerjasama sebagai suatu team untuk memecahkan masalah, menyelesaikan suatu tugas, atau menyelesaikan suatu tujuan bersama”. Sedangkan slavin (dalam Nur Asma 2008:2), belajar kooperatif learning adalah suatu pembelajaran dimana dalam belajar kooperatif siswa belajar bersama, saling menyumbang pemikiran dan tanggung jawab terhadap pencapaian hasil belajar secara individu maupun kelompok.
Pembelajaran kooperatif  learning adalah metode pembelajaran, yang menekankan pada proses kerjasama dalam suatu kelompok yang terdiri dari 4 atau 6 orang siswa untuk mempelajari suatu materi akademik yang spesifik sampai tuntas. Siswa didorong untuk bekerjasama secara maksimal sesuai dengan keadaan kelompoknya, Kerjasama ini dimaksudkan bahwa setiap anggota kelompok harus saling membantu, yang cepat harus membantu yang lemah karena penilaian akhir ditentukan oleh keberhasilan kelompok. Kegagalan Individu adalah kegagalan kelompok, dan sebaliknya keberhasilan individu adalah keberhasilan kelompok. Oleh karena itu setiap anggota kelompok harus memiliki tangguang jawab penuh terhadap kelompoknya (Sopriya dkk, 2007:111).
Menurut Thomson, et al (dalam Rabad Sihabuddin 2006:105)” pembelajaran kooperatif learning turut menambah unsur-unsur interaksi sosial. Di dalam pembelajaran kooperatif learning siswa belajar bersama dalam kelompok- kelompok kecil saling membantu satu sama lain. Kelas disusun dalam kelompok yang tediri 4 sampai 6 orang siswa, dengan kemampuan heterogen, yaitu terdiri dari dari campuran kemampuan siswa, jenis kelamin dan suku. Pada pembelajaran kooperatif learning diajarkan keterampilan- keterampilan khusus agar dapat bekerjasama di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik, memberikan penjelasan kepada teman sekelompok dengan baik bagi yang mengerti, supaya tujuan pembelajaran tercapai. Pembelajaran kooperatif learning adalah sebuah pembelajaran yang mengutamakan pengembangan keterampilan kelompok yang berfungsi untuk melancarkan komunikasi dan pembagian tugas. Keterampilan yang dikembangkan dalam pembelajaran kooperatif learning diharapkan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Sedangkan menurut Sugianto, (2009:36), Pembelajaran kooperatif learning adalah pendekatan pembelajaran yang terfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar.
Model pembelajaran kooperatif learning merupakan salah satu model pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai subjek pembelajaran dengan suasana yang demokratis, yang saling membelajarkan, memberi kesempatan atau peluang lebih besar dalam memberdayakan potensi siswa secara maksimal. Pembelajaran kooperatif membantu siswa memahami konsep- konsep yang sulit, mengembangkan keterampilan sosial siswa, dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar (Http://Ipotes. WordPress.com/2008/05/11/ pembelajaran-koopereratif-tife-tgt).
Hamid Hasan (dalam Etin Solihatin daharjo,2005:4) menyatakan bahwa belajar kooperatif learning adalah pemanfaatan kelompok kecil dalam pengajaran yang memungkinkan siswa bekerjasama untuk memaksimalkan belajar mereka dan anggota lainnya dalam kelompok tersebut.  Dalam kegiatan kooperatif learning siswa secara individual mencari hasil yang menguntungkan bagi seluruh anggota kelompoknya dalam mencapai tujuan bersama. Sedangkan Stahl (dalam Etin Solihatin, 2005:4) mengatakan bahwa model pembelajaran kooperatif learning menempatkan siswa sebagai bagian dari suatu sistem kerjasama dalam mencapai suatu hasil yang optimal dalam belajar. Model pembelajaran ini berangkat dari asumsi mendasar dalam kehidupan masyarakat, yaitu” getting better  together” atau”raihlah yang lebih baik secara bersama- sama”.
Pembelajaran kooperatif learning merupakan salah satu model pengajaran, dimana siswa belajar dalam kelompok- kelompok kecil sehingga mereka saling membantu antara satu dengan yang lainnya dalam membahas suatu pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif learning semua anggota kelompok dituntut untuk memberikan pendapat atau ide- ide, dalam memecahkan masalah sehingga tercapai tujuan pembelajaran dengan adanya kerjasama diantara anggota kelompok. Pada dasarnya pembelajaran kooperatif learning adalah suatu sikap atau prilaku bersama dalam bekerja atau membantu diantara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih dimana keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh ketertiban dari setiap anggota kelompok itu sendiri (Etin Solihatin dan Raharjo 2005:4).
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa belajar kooperatif learning berdasarkan pada suatu ide bahwa siswa bekerjasama dalam belajar kelompok dan sekaligus masing- masing bertanggung jawab pada aktivitas belajar anggota kelompoknya, sehingga seluruh anggota kelompok dapat menguasai materi pelajaran dengan baik. Pembelajaran kooperatif learning menekankan kerjasama antara siswa dalam kelompok. Hal ini dilandasi oleh pemikiran bahwa siswa lebih mudah menemukan dan memahami suatu konsep jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya. Kegiatan kooperatif learning berlangsung di lingkungan belajar dalam kelompok- kelompok kecil yang saling berbagi ide-ide dan bekerjasama secara kolaboratif untuk memecahkan masalah- masalah dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan- tujuan dan tugas-tugas akademik bersama, sambil bekerjasama belajar keterampilan- ketarampilan kolaboratif dan sosial. Anggota- anggota kelompok memiliki tanggung jawab dan saling bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama.
Pada hakekatnya pembelajaran kooperatif learning adalah untuk melibatkan siswa dalam diskusi tentang pelajaran yang sedang berlangsung dan memecahkan permasalahan pembelajaran secara bersama- sama, sehingga mereka berpikir secara bebas, meningkatkan motivasi belajar siswa dan memberikan peluang kepada siswa untuk menerangkan, menjelaskan, atau mengulang pelajaran dalam berkomunikasi dengan temannya yang belum memahami pelajaran serta menghapus persaingan didalam kelas.
b.      Tujuan
Tujuan pembelajaran kooperatif menurut Nur Asma (2008:3) adalah:
1) Pencapaian hasil belajar, pembelajaran kooperatif bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas- tugas akademik, dan membantu siswa memahami konsep- konsep yang sulit,(2)penerimaan terhadap perbedaan individu maksudnya penerimaan yang luas terhadap orang yang berbeda menurut ras, budaya, tingkat sosial, kemampuaan, maupun ketidakmampuannya serta member peluang kepada siswa yang  berbeda latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung satu sama lain atas tugas- tugas bersama, dan melalui penggunaan struktur penghargaan kooperatif, serta belajar untuk menghargai satu sama lain, (3) pengembangan keterampilan sosial, tujuan pembelajaran kooperatif adalah untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi.

Model struktur pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan penilaian siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Siswa dapat meningkatkan kinerja- kinerja siswa dalam tugas akademik, memberikan peluang kepada siswa yang berbeda latar belakang untuk saling bergantung satu sama lain atas tugas- tugas bersama. Pada akhirnya pembelajaran kooperatif learning ini memberikan penghargaan untuk kelompok serta mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi. Sedangkan menurut Yatim Riyanto (2008:27)”menyatakan bahwa tujuan pembelajaran kooperatif adalah:(1) Individual: keberhasilan seseorang ditentukan oleh orang itu sendiri tidak dipengaruhi oleh orang lain, (2) Kompetitif: keberhasilan seseorang dicapai karena karena kegagalan orang lain (ada ketergantungan negatif), (3) Kooperatif: keberhasilan seseorang karena keberhasilan orang lain, orang tidak dapat mencapai keberhasilan dengan sendirian.
c.       Karakteristik
1)      Siswa bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademis
2)      Anggota- anggota dalam kelompok diatur terdiri dari siswa yang berkemampuan rendah, sedang dan tinggi.
3)      Jika memungkinkan masing- masing anggota kelompok kooperatif berbeda suku, budaya dan jenis kelamin.
4)      Sistem penghargaan yang berorientasi kepada kelompok dari pada individu.(Http://putrimasyithah.blogspot.com/2010/01/ pendekatan-kooperatif-tipe-tgt.htm)
Pembelajaran kooperatif menekankan kepada kerjasama untuk menguasai pelajaran, dimana anggota- anggota kelompok memiliki kemampuan yang berbeda (rendah, sedang, dan tinggi) dan latar belakang berebeda, suku, budaya, dan jenis kelamin. Keberhasilan kelompok tergantung pada individu dari setiap anggota kelompok dan setiap anggota kelompok
d.      Prinsip
Beberapa prinsip pembelajaran kooperatif Menurut Nur Asma (2008:6-8) adalah:
1)      Belajar siswa aktif, proses pembelajaran   berpusat  pada siswa, aktivitas belajar lebih dominan dilakukan siswa, pengetahuan yang dibangun dan ditemukan adalah dengan belajar bersama-sama dengan anggota kelompok sampai masing-masing siswa memahami materi pelajaran dan mengakhiri dengan membuat laporan kelompok dan Individu.
2)      Belajar kerjasama, proses pembelajaran yang dilalui dengan kerjasama dalam kelompok untuk membangun pengetahuan yang tengah dipelajari. Seluruh siswa terlibat secara aktif dalam kelompok untuk melakukan diskusi, memecahkan masalah dan menguji secara bersama- sama, sehingga terbentuk pengetahuan baru dari hasil kerjasama mereka.
3)      Pembelajaran Partisipatorik, melalui model pembelajaran ini siswa belajar dengan melakukan sesuatu (learning by doing) secara bersama-sama untuk menemukan dan membangun pengetahuan yang menjadi tujuan pembelajaran.
4)      Reactive Teaching, Untuk menerapkan model pembelajaran kooperatif ini guru perlu menciptakan strategi yang tepat agar seluruh siswa mempunyai motivasi belajar yang tinggi. Motivasi dapat dibangkitkan jika mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan menarik serta dapat meyakinkan siswanya akan manfaat pelajaran ini untuk masa depan mereka. Berikut ini adalah ciri-ciri guru yang kreatif: 1) menjadikan siswa sebagai pusat kegiatan belajar, 2) pembelajaran dari guru dimulai  dari hal-hal yang diketahui dan dipahami siswa, 3) selalu menciptakan suasana belajar yang menarik bagi siswanya , 4) mengetahui hal- hal yang membuat siswa menjadi bosan dan segera mengulanginya.
5)      Pembelajaran yang menyenangkan, pembelajaran harus berjalan dalam suasana yang menyenangkan, tidak ada lagi suasana yang menakutkan bagi siswa atau suasana belajar yang tertekan. Suasana belajar yang menyenangkan harus dimulai dari sikap dan perilaku guru diluar maupun didalam kelas. Guru harus memiliki sikap yang ramah dengan tutur bahasa yang menyayangi siswa- siswanya.
Sedangkan menurut Yatim Rianto ( 2008:270 ), Ada lima prinsip yang mendasari pembelajaran kooperatif, yaitu :
1.      Positive independence artinya saling ketergantungan positif yakni anggita kelompok menyadari pentingnya kerjasama dalam pencapaian tujuan.
2.      Face tuface interaction artinya antar anggota berinteraksi dengan saling berhadapan
3.      Individual accountability artinya setiap anggota kelompok harus belajar dan aktif memberikan kontribusi untuk mencapai keberhasilan kelompok
4.      Use of collaborative/social skiil artinya harus menggunakan keterampilan bekerjasama dan bersosialisasi. Agar siswa mampu berkolaborasi perlu adanya bimbingan guru.
5.      Group processing artinya siswa perlu menilai bagaimana mereka bekerja secara efektif.
Ciri-ciri pembelajaran kooperatif
1.      Kelompok di bentuk dengan siswa berkempuan tinggi, sedang, rendah.
2.      Siswa dalam kelompok sehidup semati
3.      Siswa melihat semua anggota mempunyai tujuan yang sama
4.      Membagi tugas dan tanggung jawab sama
5.      Akan di evaluasi untuk semua
6.      berbagi kepemimpinan dan ketermpilan untuk bekerja sama
7.      Diminta untuk mempertanggung jawab kan individual yang materi yang akan di tangani
Menurut sugianto Ciri-ciri pembelajaran kooperatif adalah
1.      Saling ketergantungan positif
Dalam pembelajaran kooperatif learning, guru menciptakan suasana yang mendorong agar siswa saling membutukan. saling ketergantungan dapat di capai melalui: a) saling ketergantungan mencapai tujuan, b) saling keterntungan menyelesaikan tugas, c) saling ketrgantungan bahan atau sumber, d) saling ketergantungan peran, e) saling ketergantungan hadiah.
2.      Interaksi tatap muka
Interaksi tatap muka akn memaksa siswa saling tatapmuka dalam kelompok sehingga mereka dapat berdialog. Ini mencerminkan konsep pengajaran teman sebaya.
3.      Akun tabilitas individual
Pembelajaran kooperatif learning menampilkan wujudnya dalam pembelajaran kelompok. Penilaian ditujukan untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap materi pelajaran secara individual.


4.      Keterampilan menjalin hububngan antar individu
Keterampilan social seperi tenggang rasa, sikap sopan terhadap teman, menkritikan ide dan bukan mengkritik teman, berani mempertahan pikiran logis, tidan mendomonasi orang lain, mandiri dan berbagai sifat lain yang bermanfaat dalam menjalin hubungan antarpribadi (Intrpersonal relationship) tidak hanya di asumsikan tetapi secara sengaja di ajarkan.
Pembelajaran kooperatif learning berpusat pada siswa, pengetahuan yang dibangun adalah dengan belajar bersama-sama dengan anggota kelompok sampai masing- masing siswa memahami materi pelajaran. Seluruh siswa terlibat secara aktif dalam kelompok untuk melakukan diskusi memecahkan masalah, mengemukakan ide-ide masing-masing anggota kelompok dan mengujinya secara bersama-sama, sehingga terbentuk pengetahuan baru dari hasil kerjasama mereka. Dalam kegiatan kooperatif learning, siswa belajar dengan melakukan sesuatu secara bersama- sama untuk menemukan dan membangun pengetahuan yang menjadi tujuan pembelajaran. Selama proses pembelajaran berlangsung, guru perlu menciptakan strategi yang tepat agar seluruh siswa mempunyai motivasi belajar yang tinggi. Motivasi siswa dapat dibangkitkan jika guru mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Pembelajaran harus berjalan dalam suasana yang menyenangkan, tidak ada suasana yang menakutkan bagi siswa atau suasana belajar yang yang tertekan.
e.       Unsur-Unsur
Unsur-unsur pembelajaran kooperatif menurut Johnson dan Johnson (dalam Nur Asma 2008:8) Yaitu:
1) Saling ketergantungan positif, kegagalan dan keberhasilan kelompok merupakan tanggung jawab setiap anggota kelompok, 2) Tanggung jawab perorangan, setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk menguasai materi pelajaran, karena keberhasilan belajar kelompok ditentukan dari seberapa besar sumbangan hasil belajar secara perorangan, 3) tatap muka, interaksi yang terjadi melalui diskusi akan memberikan keuntungan bagi semua anggota kelompok karena memanfaatkan kelebihan dan mengisi kekurangan masing- masing anggota kelompok, 4) komunikasi antar anggota, karena dalam setiap tatap muka terjadi diskusi, maka keterampilan berkomunikasi antar anggota kelompok sangatlah penting, 5) Evaluasi proses kelompok, keberhasilan belajar dalam kelompok ditentukan oleh proses kerja kelompok.

Sedangkan Arends (dalam Nur Asma 2008:9)” berpendapat bahwa unsur- unsur pembelajaran kooperatif adalah:
1) Siswa dalam kelompoknya haruslah beranggapan bahwa mereka sehidup sepenanggungan bersama, (2) Siswa bertangguang jawab atas segala sesuatu didalam kelompoknya, (3) Siswa haruslah melihat bahwa semua anggota di dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama, (4) siswa haruslah membagi tugas dan tanggung jawab yang sama diantara angggota kelompoknya, (5) Siswa dikenakan atau diberi hadiah (penghargaan) yang akan dikenakan untuk semua anggota kelompok, (6) Siswa  berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajar, (7) Siswa akan diminta mempertanggung jawabkan secara individual materi yang dipelajari dalam kelompoknya.

Menurut Lungdren (dalam http://Satya. Student. Fkip. Uns.ac. id/2010/01/05/model-kooperatif-TGT) unsur- unsur pembelajaran kooperatif adalah:
a) Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka” tenggelam dan berenang bersama”, b) Para siswa harus memiliki tanggung jawab terhadap siswa atau peserta didik lain dalam kelompoknya. Selain tanggung jawab terhadap dirinya sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapinya, c) Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semuanya memiliki tujuan yang sama, d) para siswa membagi tugas dan berbagi tanggung jawab diantara para anggota kelompok, e) siswa diberikan evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi kelompok, f) Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerjasama selama belajar, g) setiap siswa akan diminta mempertangungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.

Kegagalan dan keberhasilan kelompok merupakan tanggung jawab setiap anggota kelompok, interaksi yang terjadi melalui diskusi akan memberikan keuntungan bagi semua anggota kelompok karena memanfaatkan kelebihan mengisi kekurangan masing-masing  anggota kelompok. Di dalam kelompok siswa haruslah beranggapan bahwa mereka sehidup sepenanggungan bersama yang memiliki tujuan bersama. Keberhasilan belajar dalam kelompok ditentukan oleh proses kerja kelompok. Siswa diberi penghargaan untuk semua anggota kelompok, dan mempertanggungjawabkan secara individual materi yang dipelajari dalam kelompoknya.


f.       Kelebihan
Pembelajaran kooperatif dapat menyebabkan unsur- unsur psikologis siswa menjadi teransang dan menjadi lebih aktif. Hal ini disebabkan oleh adanya kebersamaan dalam kelompok, sehingga mereka mudah dapat berkomunikasi dengan bahasa yang lebih sederhana. Pada saat berdiskusi fungsi ingatan dari siswa menjadi lebih aktif, lebih semangat, dan berani mengemukakan pendapat. Pembelajaran kooperatif juga dapat meningkatkan kerja sama, siswa lebih giat dan lebih termotivasi. Nur Asma (2008:21) menjelaskan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif dapat membantu siswa mengaktifkan pengetahuan latar belakang dan belajar dari pengetahuan latar belakang  mereka, dan belajar dari pengetahuan latar teman sekelas mereka. Mereka dilibatkan secara aktif dalam meningkatkan perhatian.
Keuntungan yang paling besar dari penerapan pembelajaran kooperatif learning terlihat ketika siswa menerapkannya dalam menyelesaikan tugas-tugas yang kompleks. Keuntungan pembelajaran kooperatif learning ini juga dapat meningkatkan kecakapan individu maupun kelompok dalam memecahkan masalah, meningkatkan komitmen, dapat menghilangkan prasangka buruk terhadap teman sebayanya dan siswa yang berprestasi dalam pembelajaran kooperatif ternyata lebih mementingkan orang lain, tidak bersifat kompetitif, dan tidak memiliki rasa dendam Davidson (dalam Nur  Asma, 2008:211).
Slavin (dalam Nur Asma, 2008:21) menyatakan pembelajaran kooperatif dapat menimbulkan motivasi sosial siswa karena adanya tuntutan untuk menyelesaikan tugas. Sedangkan Stahl (dalam http:www.Scribd.com/doc/11540191/pembelajaran-kooperatif), kelebihan model pembelajaran kooperatif learning yaitu:
1)      Meningkatkan harga diri tiap individu
2)      Penerimaan terhadap perbedaan Individu yang lebih besar
3)      Konflik antar pribadi berkurang
4)      Sikap apatis berkurang
5)      Pemahaman lebih mendalam
6)      Daya ingat atau penyimpanan lebih lama
7)      Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi
8)      Model pembelajaran kooperatif dapat mencegah keagresifan dalam sistem kompetensi dan keterasingan dalam system individu tanpa mengorbankan aspek kognitif.
9)      Meningkatkan kemajuan belajar
10)   Meningkatkan Kehadiran siswa dan sikap lebih positif
11)   Menambah motivasi dan percaya diri
12)   Menambah rasa senang berada di sekolah serta menyenangi teman- teman sekelasnya.
13)  Mudah ditetapkan dan tidak sulit.
Keuntungan penggunaan pembelajaran kooperatif learning diantaranya adalah :
1)      Meningkatkan kepekaan dan kesetiakawanan sosial.
2)      Memungkinkan para siswa saling belajar mengenai sikap, keterampilan, informasi, perilaku sosial, dan pandangan-pandangan.
3)      Memudahkan siswa melakukan  penyesuaian sosial.
4)      Memungkinkan  terbentuknya dan berkembangnya nilai-nilai sosial dan komitmen.
5)      Menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri atau egois.
6)      Membengunkan persahabatan yang dapat berlanjut hingga masa dewasa.
7)       Berbagai keterampilan sosial yang diperlukan  untuk meemlihara hubungan saling membutuhkan dapat diajarkan dan dipraktekkan.
8)      Meningkatkan rasa saling percaya kepada sesama manisia.
9)      Miningkatkan kemempuan memendang masalah dan situasi dari berbagai perspektif.
10)   Meningkatkan kesediaan  menggunakan ide oarang lain yang dirasakan  lebih baik.
11)   Meningkatkan kegemaran berteman tanpa memandang perbedaan kemampuan, jenis kelamin, normal atau cacat, etnis, kelas sosial, agama, dan orientasi tugas ( Sugiyanto, 2009:43-44).
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif dapat menyebabkan unsur- unsur psikologis siswa menjadi teransang dan menjadi lebih aktif. Dalam belajar siswa lebih aktif, lebih semangat, dan berani mengemukakan pendapat, dapat meningkatkan kecakapan individu maupun kelompok dalam memecahkan masalah serta menghilangkan prasangka buruk terhadap teman sebayanya, menambah motivasi dan percaya diri serta meningkatkan harga diri tiap individu.
g.      Kekurangan
Slavin (dalam Nur Asma 2008:22) menyatakan bahwa kekurangan dari pembelajaran kooperatif adalah konstribusi dari siswa berprestasi rendah menjadi kurang dan siswa yang memiliki prestasi tinggi akan mengerah kepada kekecewaaan, hal ini disebabkan oleh peran anggota kelompok yang pandai lebih dominan. Jhonson, dkk (dalam Nur Asma, 2008:22) menyatakan bahwa siswa yang berkemampuan tinggi merasakan kekecewaan ketika mereka habis membantu temannya yang berkemampuan rendah. Sedangkan Noornia (dalam Nur Asma 2008:22) menyatakan untuk menyelesaikan suatu materi pelajaran dengan pembelajaran kooperatif akan memakan waktu yang relatif lama dibandingkan dengan pembelajaran konvensional, bahwa dapat menyebabkan materi tidak dapat disesuaikan dengan kurikulum yang ada apabila guru belum berpengalaman. Dari segi keterampilan mengajar, guru membutuhkan persiapan yang matang dan pengalaman yang lama untuk dapat menerapkan belajar kooperatif yang lebih baik.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kekurangan pembelajaran kooperatif adalah siswa yang berkemampuan atau memiliki prestasi yang tinggi akan merasa kecewa karena harus membantu temannya yang berkemampuan rendah, dan siswa yang pandai lebih dominan. Pembelajaran kooperatif ini akan memakan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Penerapan pembelajaran kooperatif ini guru harus memiliki pengalaman dan kesiapan yang matang.